Posted by : Mayra Jumat, 07 Februari 2014



Perdagangan manusia (Human Trafficking) 
Dewasa kini permasalahan yang menyita perhatian masyarakat internasional adalah kejahatan transnasional yang melibatkan perdagangan/ penyelundupan orang (human trafficking) dari suatu negara ke negara lain. Di Indonesia Isu human trafficking belum menjadi perhatian serius pemerintah untuk segera diselesaikan, padahal Indonesia menjadi salah satu negara “pengekspor” manusia kenegara lain dalam jumlah besar sehingga praktik eksploitasi manusia melalui human trafficking sangat rentan terjadi pada masyarakat Indonesia. Selain dampak kemanusiaan tersebut, perdagangan manusia juga berdampak pada hubungan antar negara yaitu pelanggaran kedaulatan perbatasan antar negara karena perdagangan manusia adalah aktifitas lalu lintas orang antar negara secara illegal.
Untuk mengurai praktek ini sepatutnya pemerintah bekerja keras dengan memasukan isu perdagangan manusia menjadi skala prioritas program kerja jangka panjang. Untuk menyelesaikan bisnis yang diperkirakan mampu meraup keuntungan sebesar Rp 32 Triliyun setiap tahunnya ini pemerintah wajib memperhatikan beberapa faktor penyebab praktek perdagangan manusia ini mudah terjadi.Berangkat dari faktor-faktor tersebut diharapkan pemerintah mampu mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan perdagangan manusia ini.
Berdasarkan data yang didapat, terdapat beberapa faktor yang perlu diurai kaitannya dengan penyebab mudahnya praktek perdagangan manusia berlangsung.Pertama, lemahnya pengawasan di daerah perbatasan. Kedua, lemahnya sistem administrasi pada unsur pemerintah terkait dan ketiga, lemahnya political will pemerintah. Faktor pertama yaitu lemahnya pengawasan di daerah perbatasan berdampak pada suburnya tindak kejahatan perdagangan manusia ini.terlebih pendekatan yang dilakukan selama ini lebih kepada aspek keamanan bukan pada kesejahteraan masyarakat. Sehingga secara tidak langsung membangun karakter masyarakat di perbatasan untuk cenderung tidak peduli pada kegiatan yang berlangsung di daerah perbatasan, termasuk mengawasi lalu lintas perbatasan.Tentunya hal ini menjadi sumber masalah yang dapat menurunkan rasa kebangsaan dan kedaulatan negara.
Faktor kedua yaitu lemahnya sistem administrasi pada unsur pemerintah/keimigrasian, modus yang terjadi adalah perdagangan manusia selalu identik dengan pencari kerja, korban dijanjikan untuk diberangkatkan kerja, dengan membuat paspor kunjungan biasa (wisata) yang berlaku beberapa bulan.Namun sesampainya di negara tujuan, korban bekerja ditempat yang tidak diketahui.Praktek perdagangan manusia ini sulit terdeteksi, pihak imigrasi sebagai pintu utama pun sulit mendeteksi kejahatan ini karena korban memiliki kelengkapan persyaratan administrasi seelumnya.
Faktor ketiga yaitu lemahnya political will dari pemerintah. Minimnya regulasi untuk mencegah praktek perdagangan manusia belum menjadi prioritas.Sebagai contoh, kasus terbesar praktek perdagangan manusia saat ini terjadi pada hubungan tenaga kerja Indonesia di negara Malaysia.Hampir 1 jutaan orang Indonesia menjadi tenaga kerja Ilegal di negara tersebut.kondisi ini memungkinkan praktik eksploitasi mudah terjadi. Hingga saat ini tindakan nyata dari pemerintah hanya menunda pengiriman TKI yang sesungguhnya tidak efektif karena tenaga kerja tersebut perlu dicarikan lapangan pekerjaan lain, dan juga mendesak pemerintah untuk melakukan revisi MOU yang pernah dibuat agar mengatur mengenai pelarangan tenaga kerja tidak resmi.
Berdasarkan permasalahan tersebut ada beberapa alternatif solusi yang sebenarnya bisa dilakukan oleh permerintah.Pertama, Mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk segera menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri sehingga alternatif mencari pekerjaan diluar negeri dapat ditekan seminimal mungkin.Terkait dengan peran pemerintah, pihak imigrasi wajib lebih tanggap dan teliti dalam mengawasi warga yang masuk maupun keluar negeri, hal ini agar praktek dokumen resmi tapi untuk kegiatan illegal dapat ditekan. Keudian kerja sama Pihak kepolisian dan masyarakat dalam hal ini LSM untuk secara aktif menangani kasus-kasus perdagangan manusia. Dan juga, menindak tegas setiap perusahaan yang berpeluang terhadap praktik perdagangan manusia yang kerap tidak memperhatikan prosedur.
Kedua, ditambah mengenai kewenangan kewenangan daerah, khususnya terkait dengan wilayah perbatasan yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat karena terkait dengan keamanan dan pertahanan.Perdagangan manusia terjadi karena pengelolaan wilayah perbatasan yang sangat buruk, oleh sebab itu, alternative pilihan tersebut adalah penambahan anggaran penanggulangan perdagangan manusia oleh pusat atau memberikan kewenangan lebih pemerintah daerah untuk terjun langsung menanggulanginnya.Asumsi dasar apabila tanggung jawab diberikan kepada pemerintah daerah, selain lebih mengetahui kondisi daerahnya pemerintah daerah dapat langsung bekerja untuk Mengintegrasikan seluruh komponen yang ada meliputi koordinasi diantara pemerintahan di tingkat desa, kabupaten/kota untuk menggalakan penyelesaian perdagangan manusia.
Ketiga, Pembangunan infrastruktur dan fasilitas sistem pengamanan di kawasan perbatasan mutlak harus dilaksanakan.Artinya dalam menanggulangi perdagangan manusia pemerintah wajib melakukan pendekatan kesejahteraan kepada masyarakat wilayah perbatasan disamping tetap mempertahankan pendekatan keamanan.Masih buruknya kedua hal tersebut memberikan peluang bagi sindikat kejahatan untuk mencari keuntungan.

Gejala Perdagangan Perempuan di Dunia
Perdagangan perempuan tidak bisa dipisahkan dari sejarah perbudakan yang melanda dunia sejak berabad-abad silam. Dahulu tradisi ini selalu dihubungkan dengan dunia yang penuh peperangan dan penaklukan suatu negeri.

Namun dewasa ini, perdagangan manusia malah menjadi jauh lebih kompleks.Dengan kemajuan teknologi, informasi, dan transportasi semakin berkembang pula modus kejahatannya.Perdagangan perempuan dilakukan oleh jaringan-jaringan kriminal internasional dan menghasilkan keuntungan berjuta-juta dolar setiap tahunnya. Menurut data Europol, terdapat lebih dari 3000 organisasi perdagangan manusia dan sedikitnya 30.000 orang yang melaksanakan aktifitas perdagangan manusia secara pribadi.

Sebagai negara yang mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi, Amerika Serikat tidak terlepas dari gejala perdagangan perempuan. Beberapa waktu yang lalu, Departemen Kehakiman di Washington D.C. dan Kantor Kejaksaan AS di Florida Selatan berhasil menuntut 15 anggota keluarga Cadena yang memperdagangkan perempuan dari Meksiko ke Amerika Serikat. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) juga mencatat bahwa sekitar 500.000 perempuan diperdagangkan ke Eropa Barat.

Jepang mengalami hal yang sama seperti AS. Di negeri matahari terbit itu, menurut ILO (International Labour Organization) sekitar 80% imigran perempuan terjerumus dalam sektor prostitusi yang dikamuflase menjadi dunia hiburan dan salah satu negara pemasok segmen itu adalah Indonesia. Omzet perdagangan perempuan di Jepang mencapai 4,4 trilyun rupiah per tahun atau setara dengan anggaran pertahanan Jepang. Jaringan Yakuza (organisasi mafia Jepang) yang menjadi beking bisnis prostitusi di Jepang akan melacak para pekerja yang kabur.

Di India, pelaku perdagangan dapat berpura-pura sebagai pedagang yang sukses, membujuk orang tua sang gadis dengan mengatakan bahwa dia adalah pasangan yang cocok. Setelah menikah, gadis tersebut disiksa secara seksual dan dijual sebagai pekerja seks. Di Asia Timur, para pelaku perdagangan manusia mengunjungi kota-kota seperti Bangkok atau Phnom Penh dan menawarkan pada calon korban untuk ikut “liburan” ke negara lain. Begitu tiba, paspor perempuan korban tersebut diambil dan dibawa ke rumah bordil.5

Menurut PBB, perdagangan manusia sudah menjadi sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga di dunia setelah perdagangan senjata dan narkoba.Dari bisnis hitam itu, para pelaku bisa meraup laba sekitar USD 7 miliar tiap tahunnya. Keuntungan itu dihitung dari hasil penjualan sekitar 40.000 hingga 70.000 anak dan perempuan yang dijual daerah dan negara.6 Berdasarkan laporan Asian Development Bank (ADB) setidaknya satu sampai dua juta manusia diperkirakan telah diperjualbelikan setiap tahun di seluruh dunia. Sebagian besar penjualan orang tersebut berasal dari negara miskin, 150.000 dari negara Asia Barat dan 225.000 dari negara Asia Tenggara. 


Perdagangan Perempuan di Indonesia
Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat angka perdagangan perempuan sampai tahun 2003 meningkat drastis. Jika pada tahun 2002 tercatat 320 kasus perdagangan perempuan, maka pada tahun 2003 jumlahnya membengkak menjadi 800 kasus. Termasuk diantaranya kasus yang ditemukan di daerah Batam sebanyak 166 kasus.8 Organisasi Migrasi Internasional (IOM) Jakarta mendata sekitar 1.022 korban perdagangan manusia ditangani di Indonesia antara Maret 2005 hingga April 2006 88,6% adalah perempuan. Sekitar 52% dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga dan 17,1 persen dipaksa melacur.9 Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Anak mengemukakan, sepanjang tahun 2005 sebanyak 700 gadis Indonesia dijadikan pelacur.10 Kasus trafficking di Indonesia ibarat fenomena gunung es, berapa jumlah korban sebenarnya sulit dipastikan. Diperkirakan jumlah yang tidak dilaporkan jauh lebih besar.

Tingginya angka kasus perdagangan manusia tidak saja menjadi keprihatinan bangsa ini, tapi juga keprihatinan dunia.Tak heran jika Indonesia sempat masuk dalam kategori tier III kongres Amerika berkaitan dengan perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak. Dalam sebuah dokumen Trafficking in Person Report yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) pada tahun 2002, bersama dengan 18 negara lainnya seperti (Burma, Kamboja, Afganistan, Iran, Bosnia, Rusia, Qatar, Lebanon, Turki, Saudi dll), Indonesia dikategorikan sebagai negara yang memiliki korban dalam jumlah yang besar dan pemerintahnya belum sepenuhnya menerapkan standar-standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan.11 Daerah yang memiliki kasus trafficking tertinggi di Indonesia menurut catatan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Daerah lain yang juga berpotensi; Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, Jakarta, Riau, Batam, Bali, Balikpapan, dan Papua dikenal sebagai daerah tujuan perdagangan orang, khususnya untuk keperluan eksploitasi seksual.


Siapa yang umumnya terjebak praktek perdagangan perempuan? Menurut Anis Hidayah, masalah perdagangan perempuan tidak bisa dilepaskan dari dunia buruh migran. “Rata-rata mereka adalah korban perdagangan perempuan, di mana penempatan, pekerjaan dan kontrak kerjanya tidak jelas,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care itu.13 Selain buruh migran, pihak yang rentan menjadi korban perdagangan manusia adalah bayi, anak-anak jalanan, anak muda dan perempuan yang sedang mencari pekerjaan, perempuan dengan tingkat pendidikan rendah, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, perempuan korban pemerkosaan, perempuan miskin di kota atau pedesaan, perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang.

Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang kawin kontrak yang menimpa perempuan-perempuan di sekitar kawasan Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur) yang dinikahkan secara paksa oleh ayahnya karena ingin mendapatkan imbalan uang.Begitu pula dengan gadis-gadis di daerah Indramayu yang terpaksa kawin-cerai berulang kali dan terkondisikan untuk bekerja di lokalisasi pelacuran.Deretan kisah ini merupakan contoh nyata dimana kasus-kasus trafficking berlangsung di daerah asal korban dan terjadi atas andil sanak keluarga sendiri.Selain itu kini semakin banyak fakta ditemukan bahwa di wilayah-wilayah konflik seperti Aceh, Maluku dan wilayah bencana alam (Yogyakarta, Porong Sidoarjo) banyak perempuan yang terjebak dalam kekejaman lingkaran perdagangan perempuan.


Modus Operandi
Minimnya informasi kepada masyarakat desa dan terpencil tentang bahaya dan modus perdagangan perempuan dan anak, penegakan hukum yang lemah, kemiskinan, lilitan utang, lemahnya posisi perempuan akibat kultur dan struktur patriarki (budaya yang mengobyekkan anak perempuan, seperti menganggap anak adalah ”milik” orangtua, anak perempuan adalah obyek seksual yang bernilai ekonomis, budaya menjual anak perempuan sebagai komoditas keluarga), rendahnya tingkat pendidikan, carut marutnya pelaksanaan dan tata aturan bagi agen tenaga kerja ke luar negeri menjadi faktor pendorong tingginya jumlah perdagangan perempuan di Indonesia.

Fenomena perdagangan orang di Indonesia semakin mengerikan terutama setelah krisis ekonomi dan bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Modus yang dipakai pun semakin “kreatif”, antara lain dilakukan dengan menjadi; pembantu rumah tangga domestik maupun migran yang undocumented, adopsi anak, penjualan bayi, pengemis yang diorganisir, pengedar narkoba, pekerja di tempat hiburan, target pengidap pedofilia, prostitusi, pengantin pesanan, penjualan organ tubuh, umroh dan pengiriman delegasi kebudayaan.

Modus yang terakhir ini biasanya dilakukan oleh para calo yang mencari perempuan miskin, muda, bisa menari dan tertarik di bidang kesenian. Calo menjanjikan kepada calon korban tampil di beberapa negara sebagai duta kesenian dengan gaji yang amat menggiurkan, sekitar 50 ribu yen (4 juta rupiah) per bulan plus tips.Calo juga mengatakan, pekerjaannya tidak berat-berat amat, tampil tiga kali sehari dan setiap tampil cuma 15 menit .15 Dan biasanya sesampai di negara tujuan mereka dipaksa bekerja sebagai pekerja seks di berbagai bar dan diskotik.

Minimnya informasi tentang dunia kerja di luar negeri dan di dalam negeri, membuat korban seolah tidak lagi merasa perlu memeriksa ulang deskripsi pekerjaan dan kontrak kerja. Biasanya para korban memiliki asumsi bahwa teman, kerabat, tetangga, pacar bahkan suami tidak akan menjerumuskan mereka. Padahal, pelaku perdagangan orang tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas, bisa saja melibatkan lembaga, perseorangan, dan bahkan tokoh masyarakat/agama yang sering tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen atau calo di daerahnya adalah trafficker apabila mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor secara ilegal, menyekap calon pekerja migran di penampungan dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda.


Aparat pemerintah adalah trafficker ketika terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal. Majikan adalah trafficker ketika menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif.Orang tua dan sanak keluarga adalah trafficker manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya.17 Perdagangan perempuan memang bisa disebut sebagai kenyataan buruk bagi kemanusiaan. Sejak proses awal perekrutan, pemberangkatkan, perpindahan, dan sesampai di tempat bekerja hingga kembali ke daerah asal, korban mengalami berbagai kekerasan baik fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. 


Apa yang Sudah Dilakukan Dunia dan Indonesia?
Harus kita akui, informasi tentang apa itu perdagangan manusia masih sangat terbatas. Banyak masyarakat terlebih yang tinggal di pelosok-pelosok belum paham soal ini. Lalu apa yang sudah dilakukan oleh dunia dan Indonesia untuk menghapuskan penderitaan itu?

Masyarakat internasional sebenarnya telah berulang kali mencoba untuk menghapuskan praktek perdagangan manusia melalui instrumen internasional, diantaranya; Persetujuan Internasional untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih tahun 1904, Konvensi Internasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak pada tahun 1921, dan Konvensi Internasional Memberantas Perdagangan Perempuan Dewasa pada tahun 1933.

Pada 15 November 2000, Majelis Umum PBB mengadopsi Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir beserta protokolnya yakni Protokol Menentang Penyeludupan Migran melalui Jalur Darat, Laut dan Udara dan Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Pelaku trafficking terhadap Manusia, khususnya Perempuan dan Anak. Berdasarkan pasal 3 ayat (a) dalam Protokol tersebut, istilah perdagangan manusia diartikan sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh.

Menurut definisi di atas, suatu kegiatan dapat dikategorikan kasus trafficking bila memenuhi tiga unsur penting, pertama mulai dari Proses – pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak lainnya yang meliputi kegiatan (perekrutan, pengiriman, pengangkutan, pemindahan, penampungan, penerimaan), kedua, Jalan/cara (ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan), ketiga Tujuan (prostitusi, pornografi, kekerasan/eksploitasi seksual, pedofilia, kerja paksa, kerja dengan upah yang tidak layak, pengedaran obat terlarang, pengemis, pengantin perempuan dalam perkawinan transnasional, perbudakan/praktek-praktek lain sejenisnya). Protokol menambahkan bahwa persetujuan dari korban perdagangan manusia tidak lagi relevan bila salah satu dari tiga unsur yang tercantum dalam kategori tersebut digunakan. Tak lain maka kegiatan tersebut dapat dikatakan perdagangan manusia.

Di Indonesia sendiri berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh sejumlah organisasi non-pemerintah, mulai dari kampanye, advokasi korban, advokasi kebijakan, membangun aliansi bersama untuk pencegahan, maupun melakukan pendidikan penyadaran akan bahaya perdagangan manusia dan sebagainya. Pada tanggal 12 Desember 2000, Indonesia ikut menandatangani Protokol PBB untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak. Disamping itu, Pemerintah RI telah menyiapkan sebuah Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang rencananya akan menggantikan KUHP saat ini, dimana salah satu bagian dari RUU KUHP tersebut juga mengatur mengenai kejahatan perdagangan manusia.

Pada tahun 2002, berdasarkan Keputusan Presiden No. 88 tahun 2002, Pemerintah RI mengeluarkan Pencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) serta pembentukan gugus tugas lintas sektoral untuk implementasinya.Lanjutan dari program aksi tersebut ialah pembuatan sebuah Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pindana Perdagangan Orang (RUU PTPPO).Dan telah disahkan oleh DPR pada 20 Maret 2007. Jauh sebelum munculnya berbagai kebijakan di atas, Indonesia sebetulnya memiliki Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms Against Women) atau CEDAW yang diratifikasi Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, Indonesia terikat dengan Konvensi CEDAW dan bertanggung jawab penuh melaksanakan segala amanat yang tertuang di dalam pasal-pasal CEDAW tersebut tanpa kompromi.Dari ke-24 pasal CEDAW, pasal 6 membahas soal Perdagangan Perempuan.

Diharapkan UU PTPPO menjadi senjata yang ampuh dalam upaya menuntut dan menjatuhkan hukuman penjara dan denda yang berat kepada para pelaku perdagangan manusia.Selain itu juga dapat memberikan perlindungan kepada korban dan saksi yang selama ini hak-haknya selalu diabaikan dan dapat memberikan kepastian hukum kepada aparat penegak hukum, pemerintah, parlemen dan masyarakat luas.Keberhasilan UU ini tergantung pada kebulatan tekad penegak hukum untuk mengimplementasikan UU tersebut ke seluruh daerah dan menyusun aturan pelaksanaannya sesegera mungkin.Kelebihan dari UU ini adalah mencantumkan semua unsur penting yang diusulkan masyarakat sipil dan komunitas internasional, termasuk definisi kerja ijon, eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual, serta perdagangan manusia lintas negara dan dalam negeri.

Sosialisasi UU PTPPO menjadi hal yang mutlak sebab jika kita belajar dari nasib UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), fakta di lapangan menunjukkan sebagian aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim masih belum menggunakan UU PKDRT tersebut. Sebagian besar penegak hukum bersikukuh tetap menggunakan KUHP yang berakibat pelaku hanya dijatuhi hukuman kurang dari setahun.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © May's Blog -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan